Senin, 23 Juli 2012


KAJIAN POLITIK HUKUM MENGENAI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
 DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI[1]
Sofia Nurla Rizkia Talaohu[2]

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara Indonesia.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Dengan berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya Tindak Asusila.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun sebagai ”pelaku sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pornografi.
Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi merupakan produk negara yang pengesahaannya melalui proses cukup panjang. Inipun diawali dengan suatu rancangan dengan mengalami pengubahan, sebelumnya adalah dengan nama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Dan Pornoaksi dengan singkatan sebagai RUUAPP. Dalam perkembangan kemudian nama rancangan itu menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi dan selanjutnya melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia disahkan dan ditetapkan sebagai Undang- Undang Pornografi. Ada yang berpandangan bahwa perubahan nama RUU tersebut dari segi teknik perundang-undangan dapat mengakibatkan perbedaan makna. Dalam Pedoman nomor 3 lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditentukan bahwa “Nama peraturan perundangundangan dibuat disingkat dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian pemakaian nama “Pornografi” ada yang berpandangan sebenarnya justru bermasalah karena hal itu mencerminkan bahwa undang-undang tersebut hanya berisi segala sesuatu yang berbau”porno”.
            Dari kalangan komunitas masyarakat, mereka yang menentang adanya undang-undang pornografi dan pornoaksi karena beranggapan dengan diberlakukan undang-undang itu akan “memasung” kreativitas para seniman. Misalkan, lukisan, atau pahatan patung yang telanjang (tanpa busana) sudah dianggap mengandung pornografi, atau tayangan dangdut “Inul” apakah termasuk salah satu dari bentuk pornoaksi, sehingga siapapun pelakunya dapat dikenakan pidana. Dari hal ini memang terlihat jelas adanya “pergumulan” demikian tajam dari kelompok masyarakat yang lebih mengedepankan aspek moralitas dengan mereka yang mengedepankan aspek kebebasan. Persoalannya adalah bagaimana moralitas yang semua manusia Indonesia mengakuinya sebagai suatu yang penting akan tetapi moralitas yang tumbuh tidak memasung kebebasan yang bertanggung jawab. Sebaliknya juga kebebasan yang secara hakekat diperlukan, sebagai hak yang dimiliki bagi setiap insan manusia Indonesia itu tidak melanggar batas moralitas yang merupakan jati diri dari bangsa Indonesia.
            Dalam proses pembahasan yang panjang memakan waktu sekitar 10 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi disahkan dan ditetapkan dengan mengalami pengubahan dari hasil kompromi-kompromi yang terjadi melalui pembahasan di lembaga legislatip DPRI RI, yang Akhirnya ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Dalam perjalanan ketika undang-undang itu telah diberlakukan, terjadi perkara permohonan untuk dilakukan uji materiil yang diajukan kelompok masyarakat yang menentang atas keberadaan undang-undang tersebut. Ini diajukan secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Lembaga Tinggi Negara yang memang memiliki kewenangan untuk itu, yang mana kekuatan hukumnya telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagian besar masyarakat Indonesia memberikan dukungan kuat mengenai perlunya undang-undang yang mengawasi serta memberikan sanksi terhadap tindakan pornografi  dengan tetap menghormati adat serta kreativitas seni budaya. Sebab di negara manapun dan telah maju persoalan pornografi dan pornoaksi itu tetap diatur. Hal tersebut dilakukan semata-mata demi kepentingan terjaganya ketertiban dari ruang publik. Maka secara politik dan hukum legal, undang-undang pornografi telah ditetapkan dan sah keberlakuannya ketika telah menjadi keputusan politik negara. Artinya, terlepas dari berbagai pro-kontra, secara yuridis formal maupun politik kenegaraan, bagian besar rakyat Indonesia mendukung adanya undang-undang yang mengatur mengenai pornografi, dan ini harus dihormati oleh setiap warganegara Indonesia. Dari segi politik, RUUAPP dapat menjadi UU Pornografi tentu ditentukan oleh kekuatan pendukung yang ada di Parlemen dalam hal ini para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.

B.       Permasalahan
Bagaimana kajian politik hukum mengenai pornografi dan pornoaksi dalam undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian
1.       Pengertian Politik Hukum
Dalam perspektif etimologis, politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rechts dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata hukum berasal dari kata arab hukm (kata jamaknya ahkam) yang berari putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintah (governant), kekuasaan (authority,power), hukuman (sentence).[3]
Moh. Mahfud MD. Mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.[4]
Teuku Mohhamad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[5] Sedangkan Mantan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[6]
Padmo Wahjono mengatakan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun dari isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang menjadi kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut padmo wahyono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).[7]
Satjipto Rahardjo mendefinisikn politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasa, yaitu :
1)    Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada ;
2)    Cara-cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;
3)    Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;
4)    Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.[8]

2.       Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
               Istilah pornografi bila dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno  “porne” yang berarti wanita jalang, dan  “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Pornografi, baik berupa tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, patung-patung maupun cerita-cerita lisan adalah masalah yang ada sejak berabad-abad yang lalu. Yunani Kuno sudah mengenal pornografi dengan adanya tulisan mengenai Harlot.Kaisar Romawi Tiberius memiliki perpustakaan pribadi yang berisi pornografi
paling  nyeleneh saat itu, yang kebanyakan berasal dari Timur. Pada periode modern, lukisan-lukisan dan patung-patung bersifat pornografi tersebar  luas di peradaban timur, khususnya di India dan Jepang. Karya-karya tersebut digolongkan sebagai benda seni. Saat itu satu hal yang menjadi batas antara benda seni dan pornografi ialah, lukisan atau benda seni itu tidak mempunyai bulu badan. Jika telah dilengkapi dengan bulu-bulu maka sifatnya menjadi benda pornografi.[9]
               Andi Hamzah, dalam bukunya “Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan,” melihat pornografi dari segi etimologi. Yaitu berasal dari  kata ‘Porno’ dan ‘Grafi’. Porno berasal dari bahasa yunani : ‘Porne’, yang artinya pelacur, sedangkan Grafi berasal dari kata ‘Graphein’, yang artinya ungkapan                                                 atau ekspresi. Secara harfiah pornografi berarti ungkapan tentang pelacur.  Dengan
demikian pornografi berarti:[10]
a.       Suatu pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi ;
b.       Suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada yang membaca, atau yang melihatnya
           Sementara sastrawan  HB Jassin mengartikan pornografi sebagai suatu tulisan atau  gambar yang dianggap kotor, karena dapat menimbulkan perasaan nafsu seks atau perbuatan immoral, seperti tulisan-tulisan yang sifatnya merangsang, gambar-gambar wanita telanjang dan sebagainya.[11]
            Sedangkan Tjipta Lesmana merangkum berbagai  pendapat tentang pornografi antara lain:[12] 
a.         Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak.
b.         Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok.
c.         Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat atau membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan secara umum.
            Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro pornografi berasal dari kata pronos yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, dan kini meliputi juga gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu  yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya.[13]
            Menurut willy F Pasuhuk Pornografi adalah Bahan yang dirancang dengan sengaja dan bertujuan  semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks.[14]
            Adapun Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi mendefinisikan pornografi dan pornoaksi secara lebih rinci,yaitu : [15]
a.    Menggambarkan, secara langsung maupun tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara reklame, iklan, ucapan, baik melalui media cetak maupun media elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram.
b.    Membiarkan aurat terbuka dan/atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram.
c.    Melakukan pengambilan gambar sebagaimana dimaksud angka 2 adalah haram.
d.    Melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang, melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual tersebut adalah haram.
e.    Memperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan gambar orang, baik cetak maupun visual, yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram.
f.      Berbuat intim atau berdua-duaan  (khalwat) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya yang mendekatidan/atau mendorong melakukan hubungan seksual  di luar pernikahan adalah haram.
g.    Memperlihatkan aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan bagian tubuh selain muka, telapak tangan, dan telapak kaki bagi perempuan adalah  haram,  kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar’i.
h.    Memakai pakaian tembus andang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram.
i.      Melakukan suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan atau perbuatan haram sebagaimana dimaksud angka enam adalah haram.


B.       Kajian Politik Hukum mengenai pornogarfi dan pornoaksi dalam undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi
Pengertian pornografi sebagaimana tertuang dalam Pasal 2  UndangUndang ini adalah: materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Sementara itu Pasal 4 memuat  larangan pornografi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,  memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit membuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Dalam penjelasan UU disebutkan mengenai jenis “persenggamaan  yang menyimpang”, perinciannya adalah persenggamaan atau aktivitas  seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Ini merupakan penjelasan yang menunjukkan bahwa UU ini sangat merendahkan warga masyarakat, yang dianggap memiliki fantasi yang  demikian “menyimpang”
Salah seorang Pakar hukum Neng Djubaedah, S.H., M.H, yang terlibat dalam proses penyusunan undang-undang pornografi telah menjelaskan mengenai pentingnya Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam satu tulisannya, ia menceritakan saat diundang sebagai nara sumber oleh Pansus Rancangan Undang-Undang Anti pornografi dan pornoaksi (RUU-APP) tanggal 25 Januari 2006 untuk memberikan pendapat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Sebelum acara dimulai, ia diminta oleh salah seorang narasumber lainnya agar tidak menyetujui diundangkannya RUU-APP dengan alasan bahwa masalah pornografi dan pornoaksi telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[16]
Namun ia menjawab, bahwa memang pornografi dan pornoaksi telah diatur dalam KUHP, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut tidak efektif, sehingga menyebabkan semakin maraknya pornografi dan pornoaksi dalam masyarakat, dan mengakibatkan terjadinya tindak pidana lainnya seperti; perkosaan, pembunuhan, hamil di luar nikah, aborsi dan lain-lain. Di kemukakan juga keterkaitan antara Undang-Undang Pornografi dengan undang-undang sebelumnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi menentukan bahwa “Pada saat Undang- Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundangan-undangan yang mengatur atau memiliki hubungan dengan pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Atas dasar tersebut ketentuan-ketentuan dalam KUHP tentang pornografi dan pornoaksi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang Pornografi ini.[17]
Sebagai sebuah produk politik, UU Pornografi memberikan kita pelajaran akan cacatan penting. Pertama,kemenangan sekaligus kekalahan bagi gerakan perempuan. Sekalipun masih pro dan kontra, tetapi perubahan substansi pasal dalam undang-undang ini dapat dikatakan sebagai bagian dari kemenangan gerakan perempuan dan berbagai kalangan lainnya karena turut berkontribusi memantau dan memberikan masukan kepada para anggota dewan. Misalnya perubahan pada pasal definisi, adat dan budaya tidak termasuk yang dikecualikan dalam pornografi, pornografi anak harus masuk, serta perempuan dan anak sebagai korban pornografi tidak boleh dipidana. Adapun kekalahan, karena ternyata UU ini tidak mampu melindungi perempuan dan anak sebagai korban dalam industri pornografi karena ancaman hukuman yang masih diatas 5 tahun, hal ini senagaimana diatur dalam pasal 8 yang mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa persetujuan dirinya menjadi objek pornografi.
Penjelasan pasal ini adalah jika seseorang dalam keadaan paksaan dan ancaman maka ia tidak akan dipidana. Tetapi, pada ketentuan pidana pasal 34 menyebutkan ancaman hukuman pidana dalam UU Pornografi ini adalah maksimal 10 tahun atau denda maksimal 10 milyar. Dan, UU Pornografi ini mengacu pada KUHAP yang menyebutkan bahwa ancaman pidana diatas 5 tahun wajib dilakukan penahanan (pasal 23 KUHAP). Artinya perempuan dan anak korban pornografi wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Namun, dalam proses penyidikan sebagai korban mereka tetap ditahan dalam tahanan penyidik/polisi karena mengacu pada KUHAP. Sehingga, UU ini tidak lex specialis. dan selama proses pembuktian.[18]
Selain itu, UU Pornografi ini nyata-nyata tidak dapat diterapkan dalam kehidupan dan prosedur hukum. Hal ini tercermin dari pasal 1 dan pasal 10 tentang definisi yang menggunakan kata ’gerak tubuh’ dan pertunjukan dimuka umum’ melanggar pasal 5 UU Nomor 10/2004 yang berkaitan dengan ketentuan isi harus sesuai dengan judul. Karena gerak tubuh dan pertunjukan dimuka umum termasuk pornoaksi. Selain itu, frasa ’kecabulan’, ’eksploitasi seksual’, ’menampilkan hubungan seksual’ menimbulkan multi tafsir. Frasa ’melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat’ sangat bermakna luas, karena norma antar budaya dan adat berbeda-beda. Kedua pasal diatas menunjukkan adanya kejelasan rumusan tindak pidana yang menjamin kepastian hukum atau ’lex certa’ sulitnya membuktikan adanya unsur niat atau ’mens rea’ sebagai ’mental element’ dan tindakan atau ’actus reus’ serta rumusan yang samar-samar. Padahal dalam rumusan pidana, rmusan hukum harus tidak boleh samar-samar atau ’nullum crime sine lege stricta’. Pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi terhadap privasi dan pilihan seksual seseorang juga terumus dalam pasal 4 tentang lesbian dan homoseksual sebagai salah satu dari persenggamaan yang menyimpang bertentangan dengan keputusan Depkes dan WHO (1993) berkaitan dengan Diagnosis Gangguan Jiwa III yang menegaskan bahwa homoseksualitas-lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan seksual. Selain itu, pasal ini juga membahas sangat vulgar terhadap hal-hal yang termasuk penyimpangan seksual, padahal undang-undang harusnya non diskriminasi terhadap orang dengan orientasi seksual tertentu.
Kedua, dengan lahirnya undang-undang ini makin menguatnya kelompok politik identitas, terutama yang menggunakan isu agama dan moral sebagai politik identitas. Hal ini akan sangat mungkin terjadi karena dalam pasal yang ada masih membahas kemungkinan lahirnya Perda lewat keterlibatan para gubern ur serta peran partisipasi masyarakat. Potensi munculnya polisi moral hadir dalam Bagian kedua peran serta masyarakat yakni pasal 20 – 22 UU Pornografi yang memberikan peran serta kepada masyarakat seperti pencegahan (pasal 20), melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi (pasal 21), dan masyarakat yang melaporkan mendapatkan perlindungan (pasal 22) berpotensi tumbuh dan berkembangnya polisi moral oleh masyarakat yang menuju pada perbuatan anarkhis terhadap orang-orang yang diduga melakukan pornoaksi artinya ketiga pasal ini mengatur persoalan kewenangan pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif) dan pembinaan (rehabilitatif).
Sehingga, ringkasnya UU Pornografi telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan hak asasi manusia dan penghormatan terhadap HAM, Bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945: Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan dan diskriminasi, Pasal 28 D (1) jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2) kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal 28 F kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan dan keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif dan perlindungan dari perlakukan tersebut, dan  pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan perUUan dan materi muatan  pembentukan peraturan perUUan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004.
Disahkannya Undang-Undang No. 44 tentang Pornografi Tahun 2008, secara hukum telah mengalami keputusan lebih kuat, dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 25 Maret 2010 mengenai penolakan atas permohonan uji materi yang menginginkan undang-undang tersebut dicabut. Sebagaimana hasil uji materi yang dilakukan MK, maka pada hari Kamis 25 Maret, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan dari pemohon uji materi agar undang-undang itu dicabut.[19] Dengan demikian yang diperlukan dari aspek hukum, sosial maupun budaya serta langkah-langkah kebijakan pemerintah ialah bagaimana melaksanakan amanat undang-undang itu sebagai manifestasi keinginan dari bagian besar rakyat Indonesia. Undang-Undang No. 44 tentang Pornografi telah disahkan sejak tahun 2008 dengan melalui dan terpenuhinya proses hukum maka terlepas dari prokontra sebagai suatu konsekuensi sosiologis hukum di alam demokrasi yang menjadi pilihan sekaligus komitmen rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupan politik kenegaraan, maka secara hukum yang diperlukan adalah bagaimana aturan perundangan itu dapat berjalan.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan peradilan hukum tatanegara, mengadili perkara yang berhubungan dengan kepentingan publik. Ini yang membedakan MK dengan peradilan lainnya, karena itu prinsip keadilan yang diterapkan harus merupakan keadilan bagi publik. MK lebih mengutamakan prinsip keadilan bagi publik serta kemanfaatan umum daripada prinsip kepastian hukum, jika kedua prinsip itu berhadapan ketika memutus perkara. Keadilan memang merupakan sesuatu yang abstrak, namun dapat dirasakan. Keadilan tidak lain adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebab itu memberikan putusan secara proporsional yang terlahir dari sikap jujur serta tidak memihak.[20]
Dari aspek hukum ada dua hal kemudian dapat menjadi penekanan perhatian yakni: Pertama, kedudukan undang-undang itu menjadi lebih kuat. Kedua, peran aktif kesertaan masyarakat dalam penerapan undang-undang tersebut. Ketiga, perlunya segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) guna menjabarkan lebih rinci pada tingkat penerapan di seluruh Indonesia sebagai suatu pedoman yang mampu merumuskan langkah yang tepat dengan memperhatikan asas keberagaman atau kemajemukan aspirasi yang berkembang ketika proses pembahasan hingga diputuskannya rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang sebagai keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara dalam hal ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Oleh sebab itu pula pada tahapan saat ini yang diperlukan adalah konsistensi dari segenap rakyat dan pemerintah dari berbagai lapisan serta latar belakang masyarakat Inodnesia untuk mentaati apa yang telah menjadi keputusan hukum yang telah dilakukan. Dengan suatu dasar pemikiran yang  berlandas sosiologis bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk (pluralis) dimana kebhinekaan itu mendapatkan hak serta jaminan untuk tetap terjaga dan saling menghidupi. Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah peran serta aktif masyarakat, termasuk umat Islam yakni partisipasinya dalam penerapan undang-undang tersebut. Lebih lanjut menurutnya dengan penerapan undang-undang tersebut masyarakat memiliki landasan hukum, diantaranya bisa dengan memerangi tayangan film di televisi serta bioskop yang mengandung pornografi, dengan melaporkakn ke kepolisian. Langkah ini perlu dilakukan sebab tidak semua film yang lolos dari Lembaga Sensor Fim (LSF) memenuhi kaidah dan budaya dan moral bangsa. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Lembaga Sensor Film yang terbatas anggotanya menyebabkan tidak semua dapat diplenokan kepada seluruh anggota. Ini menyebabkan terjadinya subyektivitas dari hasil kualitas sensor itu.[21]

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
UU Pornografi sebagai sebuah produk politik memberikan kita pelajaran akan cacatan penting. Pertama, kemenangan sekaligus kekalahan bagi gerakan perempuan. Sekalipun masih pro dan kontra, tetapi perubahan substansi pasal dalam undang-undang ini dapat dikatakan sebagai bagian dari kemenangan gerakan perempuan dan berbagai kalangan lainnya karena turut berkontribusi memantau dan memberikan masukan kepada para anggota dewan. Misalnya perubahan pada pasal definisi, adat dan budaya tidak termasuk yang dikecualikan dalam pornografi, pornografi anak harus masuk, serta perempuan dan anak sebagai korban pornografi tidak boleh dipidana. Adapun kekalahan, karena ternyata UU ini tidak mampu melindungi perempuan dan anak sebagai korban dalam industri pornografi karena ancaman hukuman yang masih diatas 5 tahun, hal ini senagaimana diatur dalam pasal 8 yang mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa persetujuan dirinya menjadi objek pornografi. Penjelasan pasal ini adalah jika seseorang dalam keadaan paksaan dan ancaman maka ia tidak akan dipidana. Tetapi, pada ketentuan pidana pasal 34 menyebutkan ancaman hukuman pidana dalam UU Pornografi ini adalah maksimal 10 tahun atau denda maksimal 10 milyar.
Kedua, dengan lahirnya undang-undang ini makin menguatnya kelompok politik identitas, terutama yang menggunakan isu agama dan moral sebagai politik identitas. Hal ini akan sangat mungkin terjadi karena dalam pasal yang ada masih membahas kemungkinan lahirnya Perda lewat keterlibatan para gubern ur serta peran partisipasi masyarakat. Potensi munculnya polisi moral hadir dalam Bagian kedua peran serta masyarakat yakni pasal 20 – 22 UU Pornografi yang memberikan peran serta kepada masyarakat seperti pencegahan (pasal 20), melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi (pasal 21), dan masyarakat yang melaporkan mendapatkan perlindungan (pasal 22) berpotensi tumbuh dan berkembangnya polisi moral oleh masyarakat yang menuju pada perbuatan anarkhis terhadap orang-orang yang diduga melakukan pornoaksi artinya ketiga pasal ini mengatur persoalan kewenangan pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif) dan pembinaan (rehabilitatif).



DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Andi Hamzah,1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, CV Bina Mulia.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, Raja Grafindo.
Moh. Mahfud MD., 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES.

Satjipto Rahardjo, 1986,  Ilmu Hukum, Bandung, Alumni.

Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung ,Alumni.

Teuku Mohammad Radhie, 1973, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional ” dalam majalah Prisma No.6

Tjipta Lesmana, 1995, Pornografi dalam Media Massa, Puspa Swara, Jakarta.

Wiily F. Pasuhuk, 2000, Aids dan Penyebarannya, Jakarta, PT. Grasindo.

Wirjono Prodjodikoro, 1969, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta,Fasco.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999  tentang Pers
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Internet
MAPPI FHUI, “Pengaturan Pornografi di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kebebasan Pers,” (http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=174&tipe=opini,), 29 Agustus 2005


www.google.com



[1] Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia  mata kuliah Politik Hukum dosen pengampu Dr. Ni’matul Huda,S.H.,M.Hum
[2] Penulis adalah Mahasiswi Aktif Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[3] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo, 2008,)
[4] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998), hlm. 1-2.
[5] Teuku Mohammad Radhie, “ Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional ” dalam majalah Prisma No.6 Tahun II, Desember 1973, hlm.3.
[6] Soedarto,Hukum dan Hukum Pidana,( Bandung : Alumni, 1986), hlm.151.
[7] Imam Syaukani, op cit.
[8][8] Satjipto Rahardjo,  Ilmu Hukum, (Bandung:Alumni, 1986), hlm.352-353.
[9] MAPPI FHUI, “Pengaturan Pornografi di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kebebasan Pers,” (http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=174&tipe=opini,), 29 Agustus 2005
[10] Andi Hamzah,Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta :CV Bina Mulia, 1987),  hlm.7.
[11] Majalah Mayapada No.13 Th.II, tanggal 3 Januari 1968, hlm.10.
[12] Tjipta Lesmana, Pornografi dalam Media Massa, (Jakarta, Puspa Swara, 1995), hlm.109.
[13] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Fasco, 1969), hlm.108-109.
[14] Wiily F. Pasuhuk, Aids dan Penyebarannya, (Jakarta : PT. Grasindo, 2000 ), Hlm.59.
[15] Lembaga Informasi Nasional, 2003, Fatwa MUI tetnang Pornografi dan Pornoaksi, (Jakarta : LIN), hlm. 14-16.
[16] Neng Djubaidah, Tinajauan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, disampaikan pada Rapat Terbatas: Penanganan Pornografi Dewan Pertimbangan Presiden,Rabu 30 Juni/17 Rajab 1431 H.hlm.74
[17] Ibid.
[19] Republika , 27 Maret 2010.

[20] Hamdan, “Membuat UU dan Menguji UU Sama Pentingnya, Republika, Rabu 17 Maret 201
[21] Ibid, Republika, 27 Maret 2010