KAJIAN POLITIK HUKUM MENGENAI
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG
PORNOGRAFI[1]
Sofia Nurla Rizkia Talaohu[2]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur bangsa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat
setiap warga negara Indonesia.
Globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah
memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur
bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat
Indonesia. Dengan berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga
mengakibatkan meningkatnya Tindak Asusila.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika
kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan
asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral
masyarakat Indonesia.
Pornografi dan pornoaksi adalah
perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku generasi muda. Anak-anak dan
perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun
sebagai ”pelaku sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Pengaturan pornografi yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum
serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang pornografi.
Undang-Undang nomor 44 tahun 2008
tentang Pornografi merupakan produk negara yang pengesahaannya melalui proses
cukup panjang. Inipun diawali dengan suatu rancangan dengan mengalami
pengubahan, sebelumnya adalah dengan nama Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi Dan Pornoaksi dengan singkatan sebagai RUUAPP. Dalam perkembangan
kemudian nama rancangan itu menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi dan
selanjutnya melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia disahkan dan
ditetapkan sebagai Undang- Undang Pornografi. Ada yang berpandangan bahwa
perubahan nama RUU tersebut dari segi teknik perundang-undangan dapat
mengakibatkan perbedaan makna. Dalam Pedoman nomor 3 lampiran Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
ditentukan bahwa “Nama peraturan perundangundangan dibuat disingkat dan
mencerminkan isi peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian pemakaian nama
“Pornografi” ada yang berpandangan sebenarnya justru bermasalah karena hal itu
mencerminkan bahwa undang-undang tersebut hanya berisi segala sesuatu yang
berbau”porno”.
Dari
kalangan komunitas masyarakat, mereka yang menentang adanya undang-undang
pornografi dan pornoaksi karena beranggapan dengan diberlakukan undang-undang
itu akan “memasung” kreativitas para seniman. Misalkan, lukisan, atau pahatan
patung yang telanjang (tanpa busana) sudah dianggap mengandung pornografi, atau
tayangan dangdut “Inul” apakah termasuk salah satu dari bentuk pornoaksi,
sehingga siapapun pelakunya dapat dikenakan pidana. Dari hal ini memang
terlihat jelas adanya “pergumulan” demikian tajam dari kelompok masyarakat yang
lebih mengedepankan aspek moralitas dengan mereka yang mengedepankan aspek
kebebasan. Persoalannya adalah bagaimana moralitas yang semua manusia Indonesia
mengakuinya sebagai suatu yang penting akan tetapi moralitas yang tumbuh tidak
memasung kebebasan yang bertanggung jawab. Sebaliknya juga kebebasan yang
secara hakekat diperlukan, sebagai hak yang dimiliki bagi setiap insan manusia
Indonesia itu tidak melanggar batas moralitas yang merupakan jati diri dari
bangsa Indonesia.
Dalam
proses pembahasan yang panjang memakan waktu sekitar 10 tahun, akhirnya
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi disahkan dan ditetapkan
dengan mengalami pengubahan dari hasil kompromi-kompromi yang terjadi melalui
pembahasan di lembaga legislatip DPRI RI, yang Akhirnya ditetapkan sebagai
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Dalam perjalanan ketika undang-undang
itu telah diberlakukan, terjadi perkara permohonan untuk dilakukan uji materiil
yang diajukan kelompok masyarakat yang menentang atas keberadaan undang-undang
tersebut. Ini diajukan secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai
Lembaga Tinggi Negara yang memang memiliki kewenangan untuk itu, yang mana
kekuatan hukumnya telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagian besar masyarakat
Indonesia memberikan dukungan kuat mengenai perlunya undang-undang yang
mengawasi serta memberikan sanksi terhadap tindakan pornografi dengan tetap menghormati adat serta
kreativitas seni budaya. Sebab di negara manapun dan telah maju persoalan
pornografi dan pornoaksi itu tetap diatur. Hal tersebut dilakukan semata-mata
demi kepentingan terjaganya ketertiban dari ruang publik. Maka secara politik
dan hukum legal, undang-undang pornografi telah ditetapkan dan sah
keberlakuannya ketika telah menjadi keputusan politik negara. Artinya, terlepas
dari berbagai pro-kontra, secara yuridis formal maupun politik kenegaraan,
bagian besar rakyat Indonesia mendukung adanya undang-undang yang mengatur
mengenai pornografi, dan ini harus dihormati oleh setiap warganegara Indonesia.
Dari segi politik, RUUAPP dapat menjadi UU Pornografi tentu ditentukan oleh
kekuatan pendukung yang ada di Parlemen dalam hal ini para Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang terhormat.
B. Permasalahan
Bagaimana kajian politik hukum mengenai
pornografi dan pornoaksi dalam undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang
pornografi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Pengertian
Politik Hukum
Dalam perspektif etimologis, politik
hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek,
yang merupakan bentukan dari dua kata rechts dan politiek. Dalam
bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata hukum berasal dari kata arab hukm
(kata jamaknya ahkam) yang berari putusan (judgement, verdict,
decision), ketetapan (provision), perintah (command),
pemerintah (governant), kekuasaan (authority,power), hukuman (sentence).[3]
Moh. Mahfud MD.
Mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.[4]
Teuku Mohhamad Radhie
mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun.[5]
Sedangkan Mantan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui
badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[6]
Padmo Wahjono
mengatakan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat
mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun dari isi hukum yang akan dibentuk
dan tentang apa yang menjadi kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan
demikian, politik hukum menurut padmo wahyono berkaitan dengan hukum yang
berlaku di masa datang (ius constituendum).[7]
Satjipto Rahardjo mendefinisikn
politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang
cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasa, yaitu :
1) Tujuan apa
yang hendak dicapai melalui sistem yang ada ;
2) Cara-cara apa
dan yang mana dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;
3) Kapan
waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;
4) Dapatkah
suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan
baik.[8]
2. Pengertian
Pornografi dan Pornoaksi
Istilah pornografi bila dilacak
pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Pornografi,
baik berupa tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, patung-patung maupun
cerita-cerita lisan adalah masalah yang ada sejak berabad-abad yang lalu.
Yunani Kuno sudah mengenal pornografi dengan adanya tulisan mengenai
Harlot.Kaisar Romawi Tiberius memiliki perpustakaan pribadi yang berisi
pornografi
paling
nyeleneh saat itu, yang kebanyakan berasal dari Timur. Pada periode
modern, lukisan-lukisan dan patung-patung bersifat pornografi tersebar luas di peradaban timur, khususnya di India
dan Jepang. Karya-karya tersebut digolongkan sebagai benda seni. Saat itu satu
hal yang menjadi batas antara benda seni dan pornografi ialah, lukisan atau
benda seni itu tidak mempunyai bulu badan. Jika telah dilengkapi dengan
bulu-bulu maka sifatnya menjadi benda pornografi.[9]
Andi
Hamzah, dalam bukunya “Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi
Perbandingan,” melihat pornografi dari segi etimologi. Yaitu berasal dari kata ‘Porno’ dan ‘Grafi’. Porno berasal dari
bahasa yunani : ‘Porne’, yang artinya pelacur, sedangkan Grafi berasal dari
kata ‘Graphein’, yang artinya ungkapan
atau ekspresi. Secara harfiah pornografi berarti ungkapan tentang
pelacur. Dengan
demikian pornografi berarti:[10]
a.
Suatu
pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi ;
b.
Suatu
pengungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik, dengan
tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada yang membaca, atau yang
melihatnya
Sementara sastrawan HB Jassin mengartikan pornografi sebagai
suatu tulisan atau gambar yang dianggap
kotor, karena dapat menimbulkan perasaan nafsu seks atau perbuatan immoral,
seperti tulisan-tulisan yang sifatnya merangsang, gambar-gambar wanita
telanjang dan sebagainya.[11]
Sedangkan
Tjipta Lesmana merangkum berbagai
pendapat tentang pornografi antara lain:[12]
a.
Muhammad
Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan
maksud merangsang nafsu seks orang banyak.
b.
Hooge
Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok.
c.
Jurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno
jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku
saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah
pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan
rangsangan seksual mereka yang melihat atau membacanya, yang melanggar rasa
kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan
secara umum.
Sedangkan
menurut Wirjono Prodjodikoro pornografi berasal dari kata pronos yang berarti
melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, dan kini
meliputi juga gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan
sesuatu yang menyinggung rasa susila dari
orang yang membaca atau melihatnya.[13]
Menurut
willy F Pasuhuk Pornografi adalah Bahan yang dirancang dengan sengaja dan
bertujuan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks.[14]
Adapun
Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi mendefinisikan
pornografi dan pornoaksi secara lebih rinci,yaitu : [15]
a.
Menggambarkan,
secara langsung maupun tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan
lukisan, gambar, tulisan, suara reklame, iklan, ucapan, baik melalui media
cetak maupun media elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah
haram.
b.
Membiarkan
aurat terbuka dan/atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk
diambil gambarnya baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram.
c.
Melakukan
pengambilan gambar sebagaimana dimaksud angka 2 adalah haram.
d.
Melakukan
hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang, melakukan pengambilan
gambar hubungan seksual atau adegan seksual, baik terhadap diri sendiri maupun
orang lain, dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual tersebut adalah
haram.
e.
Memperbanyak,
mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan gambar orang,
baik cetak maupun visual, yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau
tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan
seksual atau adegan seksual adalah haram.
f.
Berbuat
intim atau berdua-duaan (khalwat) antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya
yang mendekatidan/atau mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan adalah haram.
g.
Memperlihatkan
aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan bagian
tubuh selain muka, telapak tangan, dan telapak kaki bagi perempuan adalah haram,
kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar’i.
h.
Memakai
pakaian tembus andang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah
haram.
i.
Melakukan
suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan
seksual di luar pernikahan atau perbuatan haram sebagaimana dimaksud angka enam
adalah haram.
B. Kajian
Politik Hukum mengenai pornogarfi dan pornoaksi dalam undang-undang nomor 44
tahun 2008 tentang pornografi
Pengertian pornografi sebagaimana
tertuang dalam Pasal 2 UndangUndang ini
adalah: materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar,
sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang
dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan
dalam masyarakat.
Sementara itu Pasal 4 memuat larangan pornografi: Setiap orang dilarang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit membuat:
a. persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Dalam penjelasan UU disebutkan mengenai
jenis “persenggamaan yang menyimpang”,
perinciannya adalah persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral
seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Ini merupakan penjelasan yang
menunjukkan bahwa UU ini sangat merendahkan warga masyarakat, yang dianggap
memiliki fantasi yang demikian
“menyimpang”
Salah seorang Pakar hukum Neng
Djubaedah, S.H., M.H, yang terlibat dalam proses penyusunan undang-undang
pornografi telah menjelaskan mengenai pentingnya Undang-Undang No. 44 tahun
2008 tentang Pornografi. Dalam satu tulisannya, ia menceritakan saat diundang
sebagai nara sumber oleh Pansus Rancangan Undang-Undang Anti pornografi dan pornoaksi
(RUU-APP) tanggal 25 Januari 2006 untuk memberikan pendapat dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU). Sebelum acara dimulai, ia diminta oleh salah seorang
narasumber lainnya agar tidak menyetujui diundangkannya RUU-APP dengan alasan
bahwa masalah pornografi dan pornoaksi telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).[16]
Namun ia menjawab, bahwa memang pornografi
dan pornoaksi telah diatur dalam KUHP, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut
tidak efektif, sehingga menyebabkan semakin maraknya pornografi dan pornoaksi
dalam masyarakat, dan mengakibatkan terjadinya tindak pidana lainnya seperti;
perkosaan, pembunuhan, hamil di luar nikah, aborsi dan lain-lain. Di kemukakan
juga keterkaitan antara Undang-Undang Pornografi dengan undang-undang
sebelumnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
menentukan bahwa “Pada saat Undang- Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundangan-undangan yang mengatur atau memiliki hubungan dengan pidana
pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”. Atas dasar tersebut ketentuan-ketentuan dalam KUHP tentang
pornografi dan pornoaksi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang- Undang Pornografi ini.[17]
Sebagai sebuah produk
politik, UU Pornografi memberikan kita pelajaran akan cacatan penting. Pertama,kemenangan
sekaligus kekalahan bagi gerakan perempuan. Sekalipun masih pro dan kontra,
tetapi perubahan substansi pasal dalam undang-undang ini dapat dikatakan
sebagai bagian dari kemenangan gerakan perempuan dan berbagai kalangan lainnya
karena turut berkontribusi memantau dan memberikan masukan kepada para anggota
dewan. Misalnya perubahan pada pasal definisi, adat dan budaya tidak termasuk
yang dikecualikan dalam pornografi, pornografi anak harus masuk, serta
perempuan dan anak sebagai korban pornografi tidak boleh dipidana. Adapun kekalahan,
karena ternyata UU ini tidak mampu melindungi perempuan dan anak sebagai korban
dalam industri pornografi karena ancaman hukuman yang masih diatas 5 tahun, hal
ini senagaimana diatur dalam pasal 8 yang mengatur tentang pelarangan bagi
setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa persetujuan dirinya menjadi objek
pornografi.
Penjelasan pasal ini adalah
jika seseorang dalam keadaan paksaan dan ancaman maka ia tidak akan dipidana.
Tetapi, pada ketentuan pidana pasal 34 menyebutkan ancaman hukuman pidana dalam
UU Pornografi ini adalah maksimal 10 tahun atau denda maksimal 10 milyar. Dan,
UU Pornografi ini mengacu pada KUHAP yang menyebutkan bahwa ancaman pidana
diatas 5 tahun wajib dilakukan penahanan (pasal 23 KUHAP). Artinya perempuan
dan anak korban pornografi wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Namun,
dalam proses penyidikan sebagai korban mereka tetap ditahan dalam tahanan
penyidik/polisi karena mengacu pada KUHAP. Sehingga, UU ini tidak lex
specialis. dan selama proses pembuktian.[18]
Selain itu, UU Pornografi
ini nyata-nyata tidak dapat diterapkan dalam kehidupan dan prosedur hukum. Hal
ini tercermin dari pasal 1 dan pasal 10 tentang definisi yang menggunakan kata
’gerak tubuh’ dan pertunjukan dimuka umum’ melanggar pasal 5 UU Nomor 10/2004
yang berkaitan dengan ketentuan isi harus sesuai dengan judul. Karena gerak
tubuh dan pertunjukan dimuka umum termasuk pornoaksi. Selain itu, frasa
’kecabulan’, ’eksploitasi seksual’, ’menampilkan hubungan seksual’ menimbulkan
multi tafsir. Frasa ’melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat’ sangat
bermakna luas, karena norma antar budaya dan adat berbeda-beda. Kedua pasal
diatas menunjukkan adanya kejelasan rumusan tindak pidana yang menjamin
kepastian hukum atau ’lex certa’ sulitnya membuktikan adanya unsur niat atau
’mens rea’ sebagai ’mental element’ dan tindakan atau ’actus reus’ serta
rumusan yang samar-samar. Padahal dalam rumusan pidana, rmusan hukum harus
tidak boleh samar-samar atau ’nullum crime sine lege stricta’. Pelanggaran lain
yang dilakukan oleh UU Pornografi terhadap privasi dan pilihan seksual
seseorang juga terumus dalam pasal 4 tentang lesbian dan homoseksual sebagai
salah satu dari persenggamaan yang menyimpang bertentangan dengan keputusan
Depkes dan WHO (1993) berkaitan dengan Diagnosis Gangguan Jiwa III yang
menegaskan bahwa homoseksualitas-lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan
seksual. Selain itu, pasal ini juga membahas sangat vulgar terhadap hal-hal
yang termasuk penyimpangan seksual, padahal undang-undang harusnya non
diskriminasi terhadap orang dengan orientasi seksual tertentu.
Kedua, dengan lahirnya
undang-undang ini makin menguatnya kelompok politik identitas, terutama yang
menggunakan isu agama dan moral sebagai politik identitas. Hal ini akan sangat
mungkin terjadi karena dalam pasal yang ada masih membahas kemungkinan lahirnya
Perda lewat keterlibatan para gubern ur serta peran partisipasi masyarakat.
Potensi munculnya polisi moral hadir dalam Bagian kedua peran serta masyarakat
yakni pasal 20 – 22 UU Pornografi yang memberikan peran serta kepada masyarakat
seperti pencegahan (pasal 20), melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada
masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi (pasal 21), dan masyarakat
yang melaporkan mendapatkan perlindungan (pasal 22) berpotensi tumbuh dan
berkembangnya polisi moral oleh masyarakat yang menuju pada perbuatan anarkhis
terhadap orang-orang yang diduga melakukan pornoaksi artinya ketiga pasal ini
mengatur persoalan kewenangan pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif) dan
pembinaan (rehabilitatif).
Sehingga, ringkasnya UU
Pornografi telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan hak asasi manusia
dan penghormatan terhadap HAM, Bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945:
Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan dan diskriminasi, Pasal 28 D (1)
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2) kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal 28 F
kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan
dan keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif
dan perlindungan dari perlakukan tersebut, dan pelanggaran terhadap
asas-asas pembentukan peraturan perUUan dan materi muatan pembentukan
peraturan perUUan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004.
Disahkannya Undang-Undang No. 44
tentang Pornografi Tahun 2008, secara hukum telah mengalami keputusan lebih
kuat, dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 25 Maret 2010
mengenai penolakan atas permohonan uji materi yang menginginkan undang-undang
tersebut dicabut. Sebagaimana hasil uji materi yang dilakukan MK, maka pada
hari Kamis 25 Maret, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan
dari pemohon uji materi agar undang-undang itu dicabut.[19]
Dengan demikian yang diperlukan dari aspek hukum, sosial maupun budaya serta
langkah-langkah kebijakan pemerintah ialah bagaimana melaksanakan amanat
undang-undang itu sebagai manifestasi keinginan dari bagian besar rakyat
Indonesia. Undang-Undang No. 44 tentang Pornografi telah disahkan sejak tahun
2008 dengan melalui dan terpenuhinya proses hukum maka terlepas dari prokontra
sebagai suatu konsekuensi sosiologis hukum di alam demokrasi yang menjadi
pilihan sekaligus komitmen rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupan politik
kenegaraan, maka secara hukum yang diperlukan adalah bagaimana aturan
perundangan itu dapat berjalan.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan
peradilan hukum tatanegara, mengadili perkara yang berhubungan dengan
kepentingan publik. Ini yang membedakan MK dengan peradilan lainnya, karena itu
prinsip keadilan yang diterapkan harus merupakan keadilan bagi publik. MK lebih
mengutamakan prinsip keadilan bagi publik serta kemanfaatan umum daripada
prinsip kepastian hukum, jika kedua prinsip itu berhadapan ketika memutus
perkara. Keadilan memang merupakan sesuatu yang abstrak, namun dapat dirasakan.
Keadilan tidak lain adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebab itu
memberikan putusan secara proporsional yang terlahir dari sikap jujur serta tidak
memihak.[20]
Dari aspek hukum ada dua hal kemudian
dapat menjadi penekanan perhatian yakni: Pertama, kedudukan
undang-undang itu menjadi lebih kuat. Kedua, peran aktif kesertaan
masyarakat dalam penerapan undang-undang tersebut. Ketiga, perlunya
segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) guna menjabarkan lebih rinci pada
tingkat penerapan di seluruh Indonesia sebagai suatu pedoman yang mampu
merumuskan langkah yang tepat dengan memperhatikan asas keberagaman atau
kemajemukan aspirasi yang berkembang ketika proses pembahasan hingga
diputuskannya rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang sebagai
keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara dalam hal ini oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Oleh sebab itu pula pada tahapan saat
ini yang diperlukan adalah konsistensi dari segenap rakyat dan pemerintah dari
berbagai lapisan serta latar belakang masyarakat Inodnesia untuk mentaati apa
yang telah menjadi keputusan hukum yang telah dilakukan. Dengan suatu dasar
pemikiran yang berlandas sosiologis
bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk (pluralis) dimana kebhinekaan itu
mendapatkan hak serta jaminan untuk tetap terjaga dan saling menghidupi.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas, langkah selanjutnya
yang perlu dilakukan adalah peran serta aktif masyarakat, termasuk umat Islam
yakni partisipasinya dalam penerapan undang-undang tersebut. Lebih lanjut
menurutnya dengan penerapan undang-undang tersebut masyarakat memiliki landasan
hukum, diantaranya bisa dengan memerangi tayangan film di televisi serta
bioskop yang mengandung pornografi, dengan melaporkakn ke kepolisian. Langkah
ini perlu dilakukan sebab tidak semua film yang lolos dari Lembaga Sensor Fim
(LSF) memenuhi kaidah dan budaya dan moral bangsa. Dengan segala keterbatasan
yang dimiliki Lembaga Sensor Film yang terbatas anggotanya menyebabkan tidak
semua dapat diplenokan kepada seluruh anggota. Ini menyebabkan terjadinya
subyektivitas dari hasil kualitas sensor itu.[21]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
UU Pornografi sebagai sebuah produk politik memberikan
kita pelajaran akan cacatan penting. Pertama, kemenangan sekaligus
kekalahan bagi gerakan perempuan. Sekalipun masih pro dan kontra, tetapi
perubahan substansi pasal dalam undang-undang ini dapat dikatakan sebagai
bagian dari kemenangan gerakan perempuan dan berbagai kalangan lainnya karena
turut berkontribusi memantau dan memberikan masukan kepada para anggota dewan.
Misalnya perubahan pada pasal definisi, adat dan budaya tidak termasuk yang
dikecualikan dalam pornografi, pornografi anak harus masuk, serta perempuan dan
anak sebagai korban pornografi tidak boleh dipidana. Adapun kekalahan, karena
ternyata UU ini tidak mampu melindungi perempuan dan anak sebagai korban dalam
industri pornografi karena ancaman hukuman yang masih diatas 5 tahun, hal ini
senagaimana diatur dalam pasal 8 yang mengatur tentang pelarangan bagi setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa persetujuan dirinya menjadi objek
pornografi. Penjelasan pasal ini adalah jika seseorang dalam keadaan paksaan
dan ancaman maka ia tidak akan dipidana. Tetapi, pada ketentuan pidana pasal 34
menyebutkan ancaman hukuman pidana dalam UU Pornografi ini adalah maksimal 10
tahun atau denda maksimal 10 milyar.
Kedua, dengan lahirnya undang-undang ini makin menguatnya
kelompok politik identitas, terutama yang menggunakan isu agama dan moral
sebagai politik identitas. Hal ini akan sangat mungkin terjadi karena dalam
pasal yang ada masih membahas kemungkinan lahirnya Perda lewat keterlibatan
para gubern ur serta peran partisipasi masyarakat. Potensi munculnya polisi
moral hadir dalam Bagian kedua peran serta masyarakat yakni pasal 20 – 22 UU
Pornografi yang memberikan peran serta kepada masyarakat seperti pencegahan
(pasal 20), melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat terhadap
bahaya dan dampak pornografi (pasal 21), dan masyarakat yang melaporkan
mendapatkan perlindungan (pasal 22) berpotensi tumbuh dan berkembangnya polisi
moral oleh masyarakat yang menuju pada perbuatan anarkhis terhadap orang-orang
yang diduga melakukan pornoaksi artinya ketiga pasal ini mengatur persoalan
kewenangan pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif) dan pembinaan
(rehabilitatif).
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Andi Hamzah,1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, CV
Bina Mulia.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008,
Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, Raja
Grafindo.
Moh. Mahfud MD., 1998, Politik
Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES.
Satjipto Rahardjo, 1986,
Ilmu Hukum, Bandung, Alumni.
Soedarto, 1986, Hukum
dan Hukum Pidana, Bandung ,Alumni.
Teuku Mohammad Radhie, 1973, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan
Nasional ” dalam majalah Prisma No.6
Tjipta Lesmana, 1995, Pornografi dalam Media Massa, Puspa
Swara, Jakarta.
Wiily F. Pasuhuk, 2000, Aids
dan Penyebarannya, Jakarta, PT. Grasindo.
Wirjono
Prodjodikoro, 1969, Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia, Jakarta,Fasco.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Internet
MAPPI FHUI,
“Pengaturan Pornografi di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kebebasan Pers,”
(http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=174&tipe=opini,), 29
Agustus 2005
www.google.com
[1]
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada Pasca Sarjana Magister
Hukum Universitas Islam Indonesia mata
kuliah Politik Hukum dosen pengampu Dr. Ni’matul Huda,S.H.,M.Hum
[2]
Penulis adalah Mahasiswi Aktif Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam
Indonesia.
[3]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar
Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo, 2008,)
[4]
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Di
Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998), hlm. 1-2.
[5]
Teuku Mohammad Radhie, “ Pembaruan dan
Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional ” dalam majalah Prisma No.6
Tahun II, Desember 1973, hlm.3.
[6]
Soedarto,Hukum dan Hukum Pidana,( Bandung
: Alumni, 1986), hlm.151.
[9]
MAPPI FHUI, “Pengaturan Pornografi di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan
Kebebasan Pers,”
(http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=174&tipe=opini,), 29
Agustus 2005
[10] Andi Hamzah,Pornografi Dalam
Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta :CV Bina Mulia,
1987), hlm.7.
[11] Majalah Mayapada No.13 Th.II, tanggal 3 Januari 1968, hlm.10.
[12] Tjipta
Lesmana, Pornografi dalam Media Massa, (Jakarta, Puspa Swara, 1995), hlm.109.
[13] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Fasco, 1969), hlm.108-109.
[14] Wiily F. Pasuhuk, Aids dan
Penyebarannya, (Jakarta : PT. Grasindo, 2000 ), Hlm.59.
[15] Lembaga Informasi Nasional, 2003, Fatwa MUI tetnang Pornografi dan
Pornoaksi, (Jakarta : LIN), hlm. 14-16.
[16] Neng Djubaidah, Tinajauan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, disampaikan pada Rapat Terbatas: Penanganan
Pornografi Dewan Pertimbangan Presiden,Rabu 30 Juni/17 Rajab 1431 H.hlm.74
[17] Ibid.
[19] Republika , 27 Maret 2010.
[20] Hamdan,
“Membuat UU dan Menguji UU Sama Pentingnya, Republika, Rabu 17 Maret 201
[21] Ibid,
Republika, 27 Maret 2010