Senin, 23 Juli 2012


PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR 
DITINJAU DARI  PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM [1]
Sofia Nurla Rizkia Talaohu[2]

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Agama Islam sebagai  agama yang mengatur cara hidup penganutnya dengan ketentuan hukum yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rosul. Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.[3]
Suatu kenyataan dalam keberadaan makhluk hidup di muka bumi adalah mereka terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua makhluk hidup itu, baik pada segi fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis kedua jenis makhluk hidup tersebut saling membutuhkan sehingga berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan.Kehidupan yang berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan secara harfiah disebut perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluk Tuhan baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.[4]
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan dan telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa.
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Tujuan perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana keluarga bahagia itu, walaupun kebahagiaan itu relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang bahagia.[5]
 Untuk mencapai tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal tersebut tentunya banyak hal yang harus dipersiapakan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang akan mengikat dirinya dalam perkawinan baik persiapan fisik maupun persiapan mental. Persiapan fisik dapat juga diartikan sebagai kematangan fisik, sedangkan persiapan mental dapat juga diartikan sebagai kematangan atau kedewasaan dalam bersikap dan berkebijaksanaan dalam menghadapi segala persoaln persoalan hidup.  
Namun dalam kenyataannya, masih banyak terjadi perkawinan bagi anak yang dibawah umur yang sebenarnya belum siap dan matang baik secara fisik maupun mental yang dalam istilah indonesia dinamai oleh pernikahan di bawah umur (pernikahan dini). Perkawinan di bawah umur yaitu suatu perkawinan yang terjadi dimana pihak mempelai atau salah satunya belum mencapai umur yang sudah disyaratkan oleh Undang-Undang yang berlaku, yaitu jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun[6].
Dalam Islam perkawinan merupakan sesuatu yang agung dan mulia, yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Orang yang melangsungkan perkawinan hendaklah terdiri atas orang-orang yang dapat mempertanggung jawabkan apa yang diperbuatnya itu terhadap isteri atau suaminya terhadap keluarga, dan tentunya juga terhadap Allah SWT.  Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu syarat utama keabsahan suatu syariat adalah apabila yang bersangkutan telah aqil baligh, oleh karena itu seoarang pria yang belum baligh belum dapat melaksanakan qabul secara sah dalam satu akad nikah.
Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan akad nikah calon mempelai pria mesti mengatakan Qabul (penerimaan nikah) secara sadar dan bertanggung jawab. Adapun calon mempelai isteri didalam pelaksanaan akad nikah tidak turut serta menyatakan sesuatu sebab ijab dilakukan oleh walinya. Oleh karena itu perkawinan pria yang sudah baligh dengan wanita yang belum baligh dapat dinilai sah. Kembali pada kedudukan nikah yang agung dan mulia itu juga berfungsi sebagi forum pendidikan dan pembinaan generasi yang akan datang, maka hendaknya suatu perkawinan itu dilaksanakan setelah kedua belah pihak betu-betul mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas sebagaimana suami dan isteri yang baik bahkan siap untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya kelak.
Para ahli di Indonesia mengatakan bahwa perkawinan di bawah umur menimbulkan dampak negatif yang banyak menimbulkan kemudaratan, khusunya bagi pihak perempuan. Berdasarkan inilah maka ditetapkan batas minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan yang dimuat di dalam perundang-undangan baik undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak maupun menurut kompilasi hukum islam. Artinya perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai batas umur yang telah ditetapkan oleh peraturan yang telah ada berarti dengan kata lain  melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

B.   Permasalahan
Bagaimana perkawinan anak dibawah umur jika ditinjau dari hukum positif dan hukum islam ?















PEMBAHASAN

A.   Perkawinan anak dibawah umur ditinjau dalam perspektif hukum positif
1.       Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
UU ini telah merumuskan prinsip-prinsip perkawinan, diantaranya adalah calon suami dan istri harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat pula.[7]
Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi kodrat alam, adanya dua orang manusia dengan jenis kelamin berbeda mempunyai daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam satu keluarga. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Suatu kenyataan dalam keberadaan makhluk hidup di muka bumi adalah mereka yang terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua makhluk hidup itu, baik pada segi fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis kedua jenis makhluk hidup tersebut saling membutuhkan sehingga berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan secara harfiah disebut perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluk Tuhan baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merumuskan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan menurut hukum adat, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Sejalan dengan prinsip perkawinan tersebut, pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun. di dalam KUH Perdata, pasal 28 disebutkan bahwa seorang perjaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sebagaimana seorang gadis yang belum mencapai umur genap 15 tahun, tidak diperbolehkan mengikatkan diri dalam perkawinan. Demikian pula bagi bangsa Indonesia yang beragama Kristen, masalah usi perkawinan bagi mereka diatur di dalam Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) yang menyebutkan bahwa pemuda yang umurnya belum cukup 15 tahun tidak boleh menikah (Pasal4HOCI).[8]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagi pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari segi fisik,psikis dan mental. Dalam kenyataannya, pelanggaran bisa terjadi karena ada dispensasi dari pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi dapat dipahami bahwa melangsungkan pernikahan di bawah batas usia yang telah ditentukan oleh undang-undang berarti pelanggaran terhadap hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, meskipun disebut pelanggaran terhadap undang-undang, sanksi bagi pelanggaran tersebut tidak diatur sama sekali di dalam undang-undang tersebut. Inilah titik kelemahan hukum keluarga di Indonesia umumnya, dan khususnya hukum perkawinan, sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Akibatnya pihak-pihak yang berada pada posisi lemah dan terpojok tidak dapat dibela kepentingannya secara hukum, dan pihak yang kuat dapat leluasa berbuat tanpa ada sanksi hukum. Inilah kelemahan undang-undang perkawinan yang belakangan ini dikritik oleh banyak kalangan agar dilakukan revisi atau perbaikann.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang diusulkan untuk direvisi antara lain:
a.    Pendewasaan usia perkawinan diatas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.
b.    Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit dibawah naungan Departemen Agama.
c.    Prinsip non diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.
d.    Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata, sesuai UU No.23 Tahun 2002 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan “ setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang diprogramkan oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menolak anak di bawah umur yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perlindungan anak hanya yang akan menjadi wacana perdebatan tak berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari praktek-praktek pernikahan usia dini dalah dengan merivisi UU No1 Tahun 1974
Dukungan dan tuntutan tentang revisi undang-undang perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk menyelematkan masa depan anak-anak Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak merupakan kewajiban bagi semua pihak.

2.       Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.
Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar faktor ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan” atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi agama.
Adanya gambaran fenomena tersebut diatas, beberapa hal yang harus dilakukan dalam memberikan perlindungan anak secara komprehensif adalah:
1.       Memberikan pemahaman kepada keluarga dan masyarakat tentang hak-hak anak yang melekat pada diri seorang anak itu sendiri;
2.       Memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sejak anak-anak;
3.       Mendorong keluarga dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak;
4.       Adanya kebijakan negara yang lebih melindungi hak anak terutama dalam peraturan tentang persoalan pernikahan anak di bawah umur.
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dibuat berdasarkan empat prinsip ( lihat pasal 2 UU ini ), yaitu :
a.       Non-diskriminasi;
b.       Kepentingan terbaik bagi anak;
c.       Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan;
d.       Penghargaan terhadap anak.
Selanjutnya, di dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa ada beberapa hak anak yang harus dipenuhi, yaitu :
a.       Hak untuk mendapatkan pendidikan;
Anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, jika anak yang dibawah umur telah menikah secara otomatis pendidikan anak tersebut terbengkalai karena mereka harus mengurusi anak dan suaminya. Padahal yang kita ketahui pendidikan sangat penting, karena pendidikan sebagai bekal di masa depan. Jadi anak berhak mendapatkan pendidikan.
b.       Hak untuk berpikir dan berekspresi;
Sesuai UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtuanya. Dengan pernikahan dibawah umur tentunya anak sudah tidak lagi bisa mengekspresi diri dan berpikir sesuai dengan usianya karena dituntut melaksanakan berbagai kewajiban sebagai seorang istri.
c.       Hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya;
Dalam kasus pernikahan dibawah umur, perlu dipertanyakan apakah anak telah dimintai pendapatnya dan didengar pendapatnya. Sebab, pada kenyataannya orang dewasa cenderung memandang anak belum mampu menentukan keputusan sendiri, yang akhirnya orang dewasalah yang mengambil keputusan dan mengatasnamakan “ kepentingan yang terbaik untuk anak”. Padahal, banyak motif pernikahan anak dibawah umur berdasarkan kepentingan orang dewasa atau orangtua, umpamanya motif ekonomi.
d.       Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi dan berkreasi;
Dengan pernikahan dibawah umur, anak tidak lagi dapat memanfaatkan waktu luang dan bergaul, bermain serta berekpresi dengan teman-teman sebaya. Anak yang menikah dibawah umur di’karbit’ menjadi orang dewasa yang mempunyai tanggungjawab terhadap rumah tangga, suami dan anak-ankanya.
e.       Hak untuk mendapatkan perlindungan
Hak perlindungan ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (3)(4) UU tentang Kesejahteraan Anak, yang menyebutkan: “ anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudag dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”.[9] Anak mestinya dilindungi dari hal-hal yang membawa dampak negatif bagi perkembangannya, baik fisik maupun psikis. Dengan perkawinan dibawah umur, perlindungan orangtua yang tulus dan sejati menjadi berkurang karena beralih kepada suami. Anak seharusnya dilindungi dari pernikahan dini yang berdampak pada perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Aanak sudah memuat ancaman pidana bagi pelanggarannya. Dalam permasalahan pernikahan anak dibawah umur, dalam pasal 82 UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa barang siapa melakukan bujukrayu, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, maka dapat dijerat pidana penjara 3-15 tahun dan denda balik banyak Rp.300.000.000,00-dan paling sedikit Rp.60.000.000,00
B.   Perkawinan Anak di Bawah Umur ditinjau Dalam Perspektif Hukum Islam
Menurut hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah ikatan yangmenghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim.[10] Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara waktu, yang kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat.[11]
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miltsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[12]
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718). Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan.[13]
Islam telah memberikan keluasaan bagi siapa saja yang sudah memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk melangsungkan perkawinan dan tidak menunda-nunda pernikahan bagi yang sudah mampu, yang akan dapat mengahantarkan kepada perbuatan haram. Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah s.a.w bersabda : “ Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah untuk kawin maka kawinlah karena hal itu akan menjadi obat dan menahan pandangan...”
Dalam hadist tersebut ada persyaratan untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu kesanggupan. Kesanggupan dapat berupa kesanggupan fisik dan mental. Jika dikaitkan dengan perkawinan anak dibawah umur, jelas persyaratan tersebut belum dimiliki oleh anak yang masih dibawah umur. Di dalam Islam memang tidak ada ketentuan batas umur minimal untuk perkawinan. Yang disyaratkan adalah baligh atau dewasa, karena kedewasaan tidak sama diantara satu anak dengan yang lainnya, maka batas umur tersebut menjadi elastis.
Masalah penetuan batas umur di dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum di Indonesia memang bersifat ijtihadiyah,sebagai upaya pembaharuan pemikiran fikih masa lampau. Akan tetapi, jika dilacak, referensi syar’iynya mempunyai landasan kuat. Umpamanya isyarat Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 9:

4:9

“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) ,ereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjuk bahwa perkawinan anak di bawah umur akan meninggalkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraan. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan dari berbagai pihak, rendahnya usia perkawinan lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuan perkawianan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tujuan tersebut akan sulit terwujud jika masing-masing pasangan belum matang (dewasa) fisik dan mentalnya. Kematangan dan intergritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap problem yang terjadi di dalam keluarga. Banyak kasus menunjukan hal tersebut. Umpamanya di Pengadilan Agama di Jawa Tengah menunjukan bahwa banyaknya perceraian cenderung di dominasi akibat perkawinan di usia muda.[14]
Masalah kematangan fisik dan mental seseorang dalam konsep Islam lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu fisik. Hl ini dapat dilihat dalam pembebanan (taklif) bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Dalam sebuah hadist yang diriwatkan oleh imam yang empat, Rasulullah bersabda : “Terangkat qalam (pertanggungjawaban) seseorang dari tiga hal : orang yang tidur hingga bangun, orang gila hingga sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan mani (ihtilam).
Menurut hadist diatas, kedewasaan seorang anak laki-laki ditandai dengan bermimpi (ihtilam). Jika dikaitkan dengan perkawinan, seorang anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah berarti sudah boleh melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, persoalannya tentunya tidak segampang itu.
Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang perkawinan anak sebelum usia baligh. Menurutnya, nilai esensial perkawinan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dapat melanggengkan keturunan. Sementara dua hal hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok perkawinan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks, dan memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis dan kultural yang ada, sehingga dalam menyikapi perkawinan Nabi Muhammad s.a.w dengan Aisyah ( yang saat itu berusia 9 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi s.a.w yang tidak bisa ditiru uamtnya.[15]
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum islam melegalkan perkawianan di bawah umur. Pemahaman ini merupakan hasil interprestasi dari ayat Al-Qur’an, suarta al Thalaq ayat:4 sebagai berikut :
65:4
“ dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
Kelompok pendapat ini juga mengambil dalil sejarah bahwa Aisyah dinikahi Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula perkawinan dini merupakan hal yang lumrah di kalanagan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pembolehan perkawinan dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang dibangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.[16]
Menguatkan pendapat ini, Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadist dalam kamus hadisnya.hadis pertama adalah “ Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kaffah.”[17]
Hadist kedua berbunyi. “ Dalam kitab Taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikhakan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[18]
Menurut mereka, perkawinan dibawah umur pada hakekatnya juga mempunyai sisi positif. Hal ini mengamati model pergaulan remaja saat ini yang acap kali tidak mengidahkan model pergaulan remaja saat ini yang acap kali tidak mengidahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampaui batas, akibatnya kerap menimbulkan bahwa kualitas moral dalam masyarakat sudah samapi pada taraf yang memprihatikan. Dalam hal ini, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut daripada terjerumus dalam pergaulan yang mengkhawatirkan.
Substansi Hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada manusia kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Al-Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar Hukum Isam tetap selalu up to date, relevab dan mampu merespn dinamika perkemabangan zaman.[19]
Permasalahannya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang perkawinan anak dibawah umur dengan berbagai pertimbangan. Begitu pula agama tidak membatasi usia perkawinan secara tegas, yang ternyata juga mempunyai nilai positif. Menyikapi masalah tersebut, Izzudin Ibnu Abdusallam dalam bukunya kemaslahatan, maka dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama dilaksanakan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi perkawinan di bawah  umur. Bedanya, di dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.[20]
Kenyataan di laspangan menunjukkan, bukannya melahirkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan di bawah umur justru banyak berujung pada perceraian. Di samping itu, ada dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia.[21]
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.[22] Antara agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai perkawinan dibawah umur. Perkawinan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-Undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah perkawinan dibawah umur menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, perkawinan dibawah umur ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah perkawinan dibawah umur adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang perkawinan dibawah umur (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan perkawinan di bawah umur. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula perkawinan di bawah umur merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.
Pada hakekatnya, perkawinan dibawah umur juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan nya sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Perkawinan dibawah umur juga merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’
Walaupun seperti yang disebutkan diatas, bahwa dalam satu sisi perkawinan dibawah umur ada positifnya namun kenyataannya perkawinan dibawah umur lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits memang tidak ada menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa : Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
KESIMPULAN


Pada dasarnya perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianjurkan oleh agama manapun untuk meneruskan proses reproduksi dan kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi pernikahan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan norma hukum dan norma agama akan lebih memberikan dampak negatif.
Dalam hukum agama Islam perkawinan anak dibawah umur memang diperbolehkan dengan keadaan dan syarat tertentu yang cukup berat, sementara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan anak di bawah umur tidak diperbolehkan karena hal tersebut akan memberikan dampak negatif bagi fisik dan emosional yang secara langsung akan menyebabkan rusaknya tali pernikahan serta buruk untuk perempuan yang secara biologis belum dewasa, dan terputusnya peluang berekspresi, bereaksi, memperoleh pendidikan yang layak serta keterampilan.
Realisasi hukum berupa pengusutan memang harus dilakukan sebagai wujud ketegasan norma hukum dan norma agama tehadap ketentuan mengenai perkawinan sehingga praktek-praktek perkawinan atau pernikahan di luar jalur yang ditentukan hukum negara dan hukum agama bisa segera lenyap. Semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat madani diharapkan bisa berperan dalam pemberantasan praktek pernikahan di luar jalur tersebut, setidaknya dengan memberi contoh dan arahan kepada masyarakat lain yang mungkin kurang dalam hal kesadaran pendidikan dan kesadaran hukum.















DAFTAR PUSTAKA

A.   Buku :
Abdurrahman, 1995. Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta , Akademika Presindo.

Ahmad Rofiq,1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Al Garib al- Asfihani, Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katib al-Arabi.

Arif Gosita, 1987, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : CV Akademika Pressindo.

Cholil Mansyur, 1994. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya : Usaha Nasional

Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
    Jakarta : Bina Aksara,

Ibnu Hajar al;Asqalani, Fathul Bari, Bairut: Darut Kutub Ilmiah vol.9

Ibrahim, al bajuri,Toha Putra vol 2

Jalaluddin Suyuthi, Jami’al Shaghir, Bairut: Dar al-kutub, Jakarta, 2000.

Imam Syatibi, al Muwafaqot, Beirut: Dar al Kutub Ilmiyah

Mahmuda Junus,1989, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I,Hanafi,Maliki
                dan Hambali. Jakarta : Pustaka Mahmudiyah

Sayyid Sabiq, 1990,  Fiqih Sunnah, Jilid 6, Bandung : PT. Al Ma’arif.
.
Sudargo Gautama, 1996, Segi Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung :
        PT CitraAditya Bakti, 1996, Bandung.

Sulaiman Rasjid, 1993. Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah.


B.   Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Kompilasi Hukum Islam

C.   Internet
www. Google.com
http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955  


[1] Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada pasca sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia mata kuliah Filsafat Hukum Dosen Pengampu Drs.Rohidin,M.Ag.
[2] Penulis adalah Mahasiswi Aktif Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[3] Muhammad Fuad Abd al- Baqi. al- Mu’jam al- Mufahras li al-Faz al-Quran al- Karim. (Beirut : Daral-Fikr, 1987), hlm.332
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,  Jilid 6 (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1990), hlm.9.
[5] Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya : Usaha Nasional, 1994), hlm. 15.
[6] Sudargo Gautama, Segi Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Bandung: Penerbit PT CitraAditya Bakti, 1996), hlm.13.
[7] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm.57.
[8] Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm.18.
[9] Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1987), hlm.17.
[10] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1993), Hlm. 355.
[11] Mahmuda Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989). Hlm.110.
[12] Abdurrahman , Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1995), Hlm. 114.
[13] Al Garib al- Asfihani .Tanpa Tahun. Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katib al-Arabi, Hlm. 220
[14] Ahmad Rofiq, op.cit.,hlm.78.
[15] Ibrahim, al bajuri, Semarang: Toha Putra vol 2, hlm.90.
[16] Ibnu Hajar al;Asqalani, Fathul Bari, Bairut: Darut Kutub Ilmiah vol.9. hlm237.
[17] Jalaluddin Suyuthi, Jami’al Shaghir, Bairut: Dar al-kutub, hlm.210.
[18] Ibid,hlm.501.
[19] Imam Syatibi, al Muwafaqot, Beirut: Dar al Kutub Ilmiyah, hlm.220
[20] Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2005, pasal 15, hal.10 
[21] http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955  
[22] Ibrahim, al Bajuri , Vol.2 Toha Putra Semarang, hlm. 90.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar