PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR
DITINJAU
DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM [1]
Sofia Nurla Rizkia Talaohu[2]
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Agama Islam sebagai agama
yang mengatur cara hidup penganutnya dengan ketentuan hukum yang termuat dalam
Al-Qur’an dan sunnah Rosul. Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah
pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut
sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak
langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.[3]
Suatu kenyataan dalam keberadaan
makhluk hidup di muka bumi adalah mereka terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki
dan perempuan. Kedua makhluk hidup itu, baik pada segi fisik maupun psikis
mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis kedua jenis makhluk hidup
tersebut saling membutuhkan sehingga berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan.Kehidupan
yang berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan secara harfiah disebut perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluk Tuhan
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.[4]
Indonesia sebagai negara hukum telah
mengatur tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan dan
telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu tentang
pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
MahaEsa.
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Tujuan
perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu yang
bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana keluarga bahagia
itu, walaupun kebahagiaan itu relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau
patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan
keluarga yang bahagia.[5]
Untuk mencapai tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal tersebut tentunya banyak hal yang harus dipersiapakan oleh
seorang laki-laki dan perempuan yang akan mengikat dirinya dalam perkawinan
baik persiapan fisik maupun persiapan mental. Persiapan fisik dapat juga
diartikan sebagai kematangan fisik, sedangkan persiapan mental dapat juga
diartikan sebagai kematangan atau kedewasaan dalam bersikap dan
berkebijaksanaan dalam menghadapi segala persoaln persoalan hidup.
Namun dalam kenyataannya, masih banyak
terjadi perkawinan bagi anak yang dibawah umur yang sebenarnya belum siap dan
matang baik secara fisik maupun mental yang dalam istilah indonesia dinamai
oleh pernikahan di bawah umur (pernikahan dini). Perkawinan di bawah umur yaitu
suatu perkawinan yang terjadi dimana pihak mempelai atau salah satunya belum
mencapai umur yang sudah disyaratkan oleh Undang-Undang yang berlaku, yaitu
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita 16 (enam belas) tahun[6].
Dalam Islam perkawinan merupakan
sesuatu yang agung dan mulia, yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
SWT. Orang yang melangsungkan perkawinan hendaklah terdiri atas orang-orang
yang dapat mempertanggung jawabkan apa yang diperbuatnya itu terhadap isteri
atau suaminya terhadap keluarga, dan tentunya juga terhadap Allah SWT. Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu
syarat utama keabsahan suatu syariat adalah apabila yang bersangkutan telah
aqil baligh, oleh karena itu seoarang pria yang belum baligh belum dapat
melaksanakan qabul secara sah dalam satu akad nikah.
Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan
akad nikah calon mempelai pria mesti mengatakan Qabul (penerimaan nikah) secara
sadar dan bertanggung jawab. Adapun calon mempelai isteri didalam pelaksanaan
akad nikah tidak turut serta menyatakan sesuatu sebab ijab dilakukan oleh
walinya. Oleh karena itu perkawinan pria yang sudah baligh dengan wanita yang
belum baligh dapat dinilai sah. Kembali pada kedudukan nikah yang agung dan
mulia itu juga berfungsi sebagi forum pendidikan dan pembinaan generasi yang
akan datang, maka hendaknya suatu perkawinan itu dilaksanakan setelah kedua
belah pihak betu-betul mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk melaksanakan
tugas sebagaimana suami dan isteri yang baik bahkan siap untuk menjadi orang
tua yang baik bagi anak-anaknya kelak.
Para ahli di Indonesia mengatakan bahwa
perkawinan di bawah umur menimbulkan dampak negatif yang banyak menimbulkan kemudaratan,
khusunya bagi pihak perempuan. Berdasarkan inilah maka ditetapkan batas minimal
untuk dapat melangsungkan perkawinan yang dimuat di dalam perundang-undangan
baik undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang no 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak maupun menurut kompilasi hukum islam.
Artinya perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai batas umur yang telah
ditetapkan oleh peraturan yang telah ada berarti dengan kata lain melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku
di Indonesia.
B.
Permasalahan
Bagaimana perkawinan anak dibawah umur
jika ditinjau dari hukum positif dan hukum islam ?
PEMBAHASAN
A.
Perkawinan anak dibawah umur ditinjau dalam
perspektif hukum positif
1.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
UU ini telah merumuskan prinsip-prinsip
perkawinan, diantaranya adalah calon suami dan istri harus masak jiwa dan
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan dengan baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat pula.[7]
Perkawinan
merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi kodrat
alam, adanya dua orang manusia dengan jenis kelamin berbeda mempunyai daya
saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam satu keluarga.
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok.
Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi
secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan.
Suatu kenyataan
dalam keberadaan makhluk hidup di muka bumi adalah mereka yang terdiri dari dua
jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua makhluk hidup itu, baik pada segi
fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis kedua
jenis makhluk hidup tersebut saling membutuhkan sehingga berpasang-pasangan dan
berjodoh-jodohan secara harfiah disebut perkawinan.
Perkawinan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluk Tuhan baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merumuskan bahwa perkawinan adalah
“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan menurut hukum adat,
ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
bersangkutan.
Sejalan dengan prinsip perkawinan
tersebut, pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita telah
mencapai umur 16 tahun. di dalam KUH Perdata, pasal 28 disebutkan bahwa seorang
perjaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sebagaimana seorang gadis yang
belum mencapai umur genap 15 tahun, tidak diperbolehkan mengikatkan diri dalam
perkawinan. Demikian pula bagi bangsa Indonesia yang beragama Kristen, masalah
usi perkawinan bagi mereka diatur di dalam Ordonasi Perkawinan Indonesia
Kristen (HOCI) yang menyebutkan bahwa pemuda yang umurnya belum cukup 15 tahun
tidak boleh menikah (Pasal4HOCI).[8]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan
batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagi
pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan
matang dari segi fisik,psikis dan mental. Dalam kenyataannya, pelanggaran bisa
terjadi karena ada dispensasi dari pengadilan ataupun pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orangtua dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi dapat dipahami bahwa
melangsungkan pernikahan di bawah batas usia yang telah ditentukan oleh
undang-undang berarti pelanggaran terhadap hukum atau perundang-undangan yang
berlaku. Akan tetapi, meskipun disebut pelanggaran terhadap undang-undang,
sanksi bagi pelanggaran tersebut tidak diatur sama sekali di dalam
undang-undang tersebut. Inilah titik kelemahan hukum keluarga di Indonesia
umumnya, dan khususnya hukum perkawinan, sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan.
Akibatnya pihak-pihak yang berada pada
posisi lemah dan terpojok tidak dapat dibela kepentingannya secara hukum, dan
pihak yang kuat dapat leluasa berbuat tanpa ada sanksi hukum. Inilah kelemahan undang-undang
perkawinan yang belakangan ini dikritik oleh banyak kalangan agar dilakukan
revisi atau perbaikann.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan
pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok
yang diusulkan untuk direvisi antara lain:
a. Pendewasaan usia perkawinan diatas 18
tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan
laki-laki.
b. Prinsip non diskriminasi dalam
pencatatan perkawinan, di unit-unit dibawah naungan Departemen Agama.
c. Prinsip non diskriminasi juga
diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.
d. Hak dan status anak yang dilahirkan di
luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak
yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata, sesuai UU No.23 Tahun
2002 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan “ setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang
diprogramkan oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menolak anak di bawah umur
yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perlindungan anak hanya yang akan
menjadi wacana perdebatan tak berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara
yang melindungi anak dari praktek-praktek pernikahan usia dini dalah dengan
merivisi UU No1 Tahun 1974
Dukungan dan tuntutan tentang revisi
undang-undang perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk
menyelematkan masa depan anak-anak Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya
titipan dan karunia Tuhan. Prinsip mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak
dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak merupakan kewajiban bagi
semua pihak.
2.
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Dalam konteks
hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 butir c
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia
anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan
keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak
yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek
hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan,
hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya
keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.
Disisi lain,
terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar faktor
ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa
dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan
mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi
keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya
pernikahan anaknya yang masih dibawah umur. Kondisi ini pada akhirnya
memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan” atas ekonomi dengan memandang
bahwa anak merupakan sebuah property/asset keluarga dan bukan sebuah amanat
dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri serta yang paling keji
adalah menggunakan alasan terminologi agama.
Adanya gambaran
fenomena tersebut diatas, beberapa hal yang harus dilakukan dalam memberikan
perlindungan anak secara komprehensif adalah:
1.
Memberikan pemahaman kepada keluarga
dan masyarakat tentang hak-hak anak yang melekat pada diri seorang anak itu
sendiri;
2.
Memberikan pemahaman tentang
kesehatan reproduksi sejak anak-anak;
3.
Mendorong keluarga dan masyarakat
untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak;
4.
Adanya kebijakan negara yang lebih
melindungi hak anak terutama dalam peraturan tentang persoalan pernikahan anak
di bawah umur.
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak dibuat berdasarkan empat prinsip ( lihat pasal 2 UU ini ),
yaitu :
a. Non-diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup,
dan perkembangan, dan;
d. Penghargaan terhadap anak.
Selanjutnya, di dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa ada beberapa hak anak yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Hak untuk mendapatkan pendidikan;
Anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, jika anak yang
dibawah umur telah menikah secara otomatis pendidikan anak tersebut
terbengkalai karena mereka harus mengurusi anak dan suaminya. Padahal yang kita
ketahui pendidikan sangat penting, karena pendidikan sebagai bekal di masa
depan. Jadi anak berhak mendapatkan pendidikan.
b. Hak untuk berpikir dan berekspresi;
Sesuai UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk berpikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtuanya. Dengan
pernikahan dibawah umur tentunya anak sudah tidak lagi bisa mengekspresi diri
dan berpikir sesuai dengan usianya karena dituntut melaksanakan berbagai
kewajiban sebagai seorang istri.
c. Hak untuk menyatakan pendapat dan
didengar pendapatnya;
Dalam kasus pernikahan dibawah umur, perlu dipertanyakan
apakah anak telah dimintai pendapatnya dan didengar pendapatnya. Sebab, pada
kenyataannya orang dewasa cenderung memandang anak belum mampu menentukan
keputusan sendiri, yang akhirnya orang dewasalah yang mengambil keputusan dan
mengatasnamakan “ kepentingan yang terbaik untuk anak”. Padahal, banyak motif
pernikahan anak dibawah umur berdasarkan kepentingan orang dewasa atau
orangtua, umpamanya motif ekonomi.
d. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi dan berkreasi;
Dengan pernikahan dibawah umur, anak tidak lagi dapat
memanfaatkan waktu luang dan bergaul, bermain serta berekpresi dengan
teman-teman sebaya. Anak yang menikah dibawah umur di’karbit’ menjadi orang
dewasa yang mempunyai tanggungjawab terhadap rumah tangga, suami dan
anak-ankanya.
e. Hak untuk mendapatkan perlindungan
Hak perlindungan ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (3)(4) UU
tentang Kesejahteraan Anak, yang menyebutkan: “ anak berhak atas pemeliharaan
dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudag dilahirkan. Anak
berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”.[9]
Anak mestinya dilindungi dari hal-hal yang membawa dampak negatif bagi
perkembangannya, baik fisik maupun psikis. Dengan perkawinan dibawah umur,
perlindungan orangtua yang tulus dan sejati menjadi berkurang karena beralih
kepada suami. Anak seharusnya dilindungi dari pernikahan dini yang berdampak
pada perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. UU No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Aanak sudah memuat ancaman pidana bagi pelanggarannya.
Dalam permasalahan pernikahan anak dibawah umur, dalam pasal 82 UU Perlindungan
Anak dinyatakan bahwa barang siapa melakukan bujukrayu, tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukannya perbuatan cabul, maka dapat dijerat pidana penjara 3-15 tahun dan
denda balik banyak Rp.300.000.000,00-dan paling sedikit Rp.60.000.000,00
B.
Perkawinan Anak di Bawah Umur ditinjau Dalam
Perspektif Hukum Islam
Menurut hukum Islam khususnya yang
diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah ikatan yangmenghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim.[10]
Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya, dimaksudkan
untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk
sementara waktu, yang kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan
perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang damai
dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat.[11]
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
dirumuskan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miltsaaqon
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.[12]
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang
menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya
berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya
sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718). Yang
dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad)
perkawinan.[13]
Islam telah memberikan keluasaan bagi
siapa saja yang sudah memiliki kemampuan (al-ba’ah)
untuk melangsungkan perkawinan dan tidak menunda-nunda pernikahan bagi yang
sudah mampu, yang akan dapat mengahantarkan kepada perbuatan haram. Dalam
sebuah hadistnya, Rasulullah s.a.w bersabda : “ Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah untuk kawin
maka kawinlah karena hal itu akan menjadi obat dan menahan pandangan...”
Dalam hadist tersebut ada persyaratan
untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu kesanggupan. Kesanggupan dapat
berupa kesanggupan fisik dan mental. Jika dikaitkan dengan perkawinan anak
dibawah umur, jelas persyaratan tersebut belum dimiliki oleh anak yang masih
dibawah umur. Di dalam Islam memang tidak ada ketentuan batas umur minimal
untuk perkawinan. Yang disyaratkan adalah baligh atau dewasa, karena kedewasaan
tidak sama diantara satu anak dengan yang lainnya, maka batas umur tersebut
menjadi elastis.
Masalah penetuan batas umur di dalam
Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum di Indonesia memang
bersifat ijtihadiyah,sebagai upaya
pembaharuan pemikiran fikih masa lampau. Akan tetapi, jika dilacak, referensi syar’iynya mempunyai landasan kuat.
Umpamanya isyarat Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 9:

“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) ,ereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat tersebut memang bersifat umum,
tidak secara langsung menunjuk bahwa perkawinan anak di bawah umur akan
meninggalkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraan. Akan tetapi,
berdasarkan pengamatan dari berbagai pihak, rendahnya usia perkawinan lebih
banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuan perkawianan, yaitu
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tujuan tersebut akan sulit terwujud
jika masing-masing pasangan belum matang (dewasa) fisik dan mentalnya.
Kematangan dan intergritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam
menyelesaikan setiap problem yang terjadi di dalam keluarga. Banyak kasus
menunjukan hal tersebut. Umpamanya di Pengadilan Agama di Jawa Tengah
menunjukan bahwa banyaknya perceraian cenderung di dominasi akibat perkawinan
di usia muda.[14]
Masalah kematangan fisik dan mental
seseorang dalam konsep Islam lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu
fisik. Hl ini dapat dilihat dalam pembebanan (taklif) bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung
beban hukum). Dalam sebuah hadist yang diriwatkan oleh imam yang empat,
Rasulullah bersabda : “Terangkat qalam
(pertanggungjawaban) seseorang dari tiga hal : orang yang tidur hingga bangun,
orang gila hingga sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan
mani (ihtilam).
Menurut hadist diatas, kedewasaan
seorang anak laki-laki ditandai dengan bermimpi (ihtilam). Jika dikaitkan dengan perkawinan, seorang anak laki-laki
sudah mengalami mimpi basah berarti sudah boleh melangsungkan perkawinan. Akan
tetapi, persoalannya tentunya tidak segampang itu.
Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama
melarang perkawinan anak sebelum usia baligh. Menurutnya, nilai esensial
perkawinan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dapat melanggengkan keturunan.
Sementara dua hal hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih
menekankan pada tujuan pokok perkawinan. Ibnu
Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks, dan memahami masalah
ini dari aspek historis, sosiologis dan kultural yang ada, sehingga dalam
menyikapi perkawinan Nabi Muhammad s.a.w dengan Aisyah ( yang saat itu berusia 9
tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi s.a.w yang
tidak bisa ditiru uamtnya.[15]
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum islam
melegalkan perkawianan di bawah umur. Pemahaman ini merupakan hasil
interprestasi dari ayat Al-Qur’an, suarta al Thalaq ayat:4 sebagai berikut :

“ dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
Kelompok pendapat ini juga mengambil
dalil sejarah bahwa Aisyah dinikahi Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula
perkawinan dini merupakan hal yang lumrah di kalanagan sahabat. Bahkan sebagian
ulama menyatakan bahwa pembolehan perkawinan dibawah umur sudah menjadi
konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai
lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang dibangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.[16]
Menguatkan pendapat ini, Imam Jalaludin
Suyuthi pernah menulis dua hadist dalam kamus hadisnya.hadis pertama adalah “
Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang
waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kaffah.”[17]
Hadist kedua berbunyi. “ Dalam kitab Taurat tertulis bahwa orang yang
mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikhakan, maka
anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[18]
Menurut mereka, perkawinan dibawah umur
pada hakekatnya juga mempunyai sisi positif. Hal ini mengamati model pergaulan
remaja saat ini yang acap kali tidak mengidahkan model pergaulan remaja saat
ini yang acap kali tidak mengidahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah
melampaui batas, akibatnya kerap menimbulkan bahwa kualitas moral dalam
masyarakat sudah samapi pada taraf yang memprihatikan. Dalam hal ini,
pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif
tersebut daripada terjerumus dalam pergaulan yang mengkhawatirkan.
Substansi Hukum Islam adalah
menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada manusia kini dan masa depan.
Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa
yang pernah digaungkan Imam Al-Syatiby dalam magnum opusnya ini harus
senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar Hukum Isam tetap selalu up to date, relevab dan mampu merespn
dinamika perkemabangan zaman.[19]
Permasalahannya adalah baik kebijakan
pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah
melarang perkawinan anak dibawah umur dengan berbagai pertimbangan. Begitu pula
agama tidak membatasi usia perkawinan secara tegas, yang ternyata juga
mempunyai nilai positif. Menyikapi masalah tersebut, Izzudin Ibnu Abdusallam
dalam bukunya kemaslahatan, maka dituntut untuk menakar mana maslahat yang
lebih utama dilaksanakan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang
lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama
seperti pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi
perkawinan di bawah umur. Bedanya, di
dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa diberikan, yaitu
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.[20]
Kenyataan di laspangan menunjukkan, bukannya melahirkan
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan di bawah umur justru banyak
berujung pada perceraian. Di samping itu, ada dampak lain yang lebih luas,
seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran
masih berusia belia.[21]
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima
nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur
keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya
al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang
mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak
mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin
kabur.[22]
Antara agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai perkawinan dibawah
umur. Perkawinan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-Undang
Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah perkawinan dibawah umur
menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,
perkawinan dibawah umur ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah perkawinan dibawah umur
adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan
kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa
dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam
merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama
melarang perkawinan dibawah umur (pernikahan sebelum usia baligh).
Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan
melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.
Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada.
Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu
berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi
Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan perkawinan
di bawah umur. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq:
4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi
dalam usia sangat muda. Begitu pula perkawinan di bawah umur merupakan hal yang
lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah
umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini
tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan
mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup
menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak
boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan
wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa
orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera
dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang
tuanya”.
Pada hakekatnya, perkawinan dibawah umur juga mempunyai sisi
positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi
acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan nya sudah melampui
batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila
di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada
taraf yang memprihatinkan. Perkawinan dibawah umur juga merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam
pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’
Walaupun seperti yang disebutkan diatas, bahwa dalam satu
sisi perkawinan dibawah umur ada positifnya namun kenyataannya perkawinan
dibawah umur lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits memang tidak
ada menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan
umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu
membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya
untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa : Perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat
berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi
dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
KESIMPULAN
Pada dasarnya perkawinan merupakan
fitrah manusia yang dianjurkan oleh agama manapun untuk meneruskan proses
reproduksi dan kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi pernikahan yang
dilaksanakan tidak sesuai dengan norma hukum dan norma agama akan lebih
memberikan dampak negatif.
Dalam hukum agama Islam perkawinan anak
dibawah umur memang diperbolehkan dengan keadaan dan syarat tertentu yang cukup
berat, sementara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Perkawinan anak di bawah umur tidak diperbolehkan karena hal tersebut akan
memberikan dampak negatif bagi fisik dan emosional yang secara langsung akan
menyebabkan rusaknya tali pernikahan serta buruk untuk perempuan yang secara
biologis belum dewasa, dan terputusnya peluang berekspresi, bereaksi,
memperoleh pendidikan yang layak serta keterampilan.
Realisasi hukum berupa pengusutan
memang harus dilakukan sebagai wujud ketegasan norma hukum dan norma agama
tehadap ketentuan mengenai perkawinan sehingga praktek-praktek perkawinan atau pernikahan
di luar jalur yang ditentukan hukum negara dan hukum agama bisa segera lenyap.
Semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat madani diharapkan bisa berperan
dalam pemberantasan praktek pernikahan di luar jalur tersebut, setidaknya
dengan memberi contoh dan arahan kepada masyarakat lain yang mungkin kurang
dalam hal kesadaran pendidikan dan kesadaran hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
:
Abdurrahman, 1995. Kompilasi Hukum
Di Indonesia, Jakarta , Akademika Presindo.
Ahmad Rofiq,1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Al Garib al- Asfihani, Mufradat al
Faz al-Quran. TTP : Dar al Katib al-Arabi.
Arif Gosita, 1987, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : CV Akademika Pressindo.
Cholil Mansyur, 1994. Sosiologi
Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya : Usaha Nasional
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta : Bina Aksara,
Ibnu Hajar al;Asqalani, Fathul Bari, Bairut: Darut Kutub Ilmiah
vol.9
Ibrahim, al bajuri,Toha Putra vol 2
Jalaluddin Suyuthi, Jami’al Shaghir, Bairut: Dar al-kutub,
Jakarta, 2000.
Imam Syatibi, al Muwafaqot, Beirut: Dar al Kutub Ilmiyah
Mahmuda Junus,1989, Hukum Perkawinan
Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I,Hanafi,Maliki
dan Hambali. Jakarta : Pustaka Mahmudiyah
Sayyid
Sabiq, 1990, Fiqih Sunnah, Jilid
6, Bandung : PT. Al Ma’arif.
.
Sudargo Gautama, 1996, Segi Segi
Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung :
PT CitraAditya Bakti, 1996, Bandung.
Sulaiman
Rasjid, 1993. Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah.
B.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Kompilasi Hukum Islam
C. Internet
www. Google.com
http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955
[1]
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada pasca sarjana Magister
Hukum Universitas Islam Indonesia mata kuliah Filsafat Hukum Dosen Pengampu
Drs.Rohidin,M.Ag.
[2]
Penulis adalah Mahasiswi Aktif Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[3] Muhammad Fuad Abd al- Baqi. al- Mu’jam al- Mufahras li al-Faz
al-Quran al- Karim. (Beirut : Daral-Fikr, 1987), hlm.332
[4] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 6 (Bandung
: PT. Al Ma’arif, 1990), hlm.9.
[5] Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya
: Usaha Nasional, 1994), hlm. 15.
[6] Sudargo Gautama, Segi Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran
(Bandung: Penerbit PT CitraAditya Bakti, 1996), hlm.13.
[7]
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm.57.
[8]
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-azas
Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm.18.
[9]
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta:
CV Akademika Pressindo, 1987), hlm.17.
[11] Mahmuda Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad :
Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989).
Hlm.110.
[12] Abdurrahman
, Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1995),
Hlm. 114.
[13] Al Garib al- Asfihani .Tanpa Tahun. Mufradat al Faz al-Quran.
TTP : Dar al Katib al-Arabi, Hlm. 220
[14] Ahmad
Rofiq, op.cit.,hlm.78.
[15] Ibrahim, al bajuri, Semarang: Toha Putra vol 2,
hlm.90.
[16] Ibnu
Hajar al;Asqalani, Fathul Bari,
Bairut: Darut Kutub Ilmiah vol.9. hlm237.
[17] Jalaluddin
Suyuthi, Jami’al Shaghir, Bairut: Dar
al-kutub, hlm.210.
[18] Ibid,hlm.501.
[19] Imam
Syatibi, al Muwafaqot, Beirut: Dar al
Kutub Ilmiyah, hlm.220
[20] Kompilasi
Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2005, pasal 15, hal.10
[21] http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955
[22] Ibrahim, al
Bajuri , Vol.2 Toha Putra Semarang, hlm. 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar