Kamis, 02 Februari 2012

KAJIAN POLITIK HUKUM MENGENAI POLITIK UANG ( MONEY POLITICS) PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA

KAJIAN POLITIK HUKUM MENGENAI POLITIK UANG ( MONEY POLITICS)
PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA[1]
Sofia Nurla Rizkia Talaohu [2]

A.      PENGERTIAN  POLITIK HUKUM
Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Moh. Mahfud MD. Mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.[3] Teuku Mohhamad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[4] Sedangkan Mantan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[5]

B.      POLITIK UANG (MONEY POLITICS) PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Politik uang (Money Politics) bukanlah sesuatu hal yang baru atau bukan hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia, hingga kini telah menjadi sebuah fenomena atau budaya setiap menjelang penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam pemilihan umum kepala daerah banyak kita jumpai hal seperti itu, Money Politics bisa mempengaruhi akan partisipasi politik dalam setiap pemilihan kepala daerah beserta wakilnya. Dalam Politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum.
Sebelum pemilihan kepala daerah berlangsung calon kepala daerah berserta tim suksesnya, tim sukses merupakan seorang kader partai yang militant atau biasanya masih mempunyai hubungan keluarga dengan calon pemimpin atau bahkan mereka yang memiliki hutang budi atau hubungan ikatan patron client. Biasanya tingkat loyalitas team ini sangat bervariasi tergantung erat tidaknya ikatan emosional dengan calon kepala daerah. Mereka melakukan kampanye dari satu tempat ke tempat lain, Berbicara masalah kampanye pemikiran kita mungkin langsung akan tertuju pada sekumpulan orang berkonvoi dengan segala atribut dan yel-yel tertentu yang mengatas namakan nama “seseorang”. Maksud dan tujuan kampanye tersebut tidak lain mengenai visi dan misi mereka sebagai calon kepala daerah dan jauh yang lebih penting dari semua itu adalah agar masyarakat memilih calon kepala daerah tersebut. Biasanya, calon kepala daerah menjanjikan segala sesuatu, apapun itu bentuknya baik untuk kepentingan rakyat setempat maupun untuk memajukan perekonomian daerah tersebut.
Namun pada saat kampanye berlangsung tidak bisa dipungkiri akan terjadi penyelewengan yang berupa money politics, dalam permainan politik uang, seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakukan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Jika penggunaan uang tidak hati-hati akan beresiko fatal apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada orang yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah.  
Secara hukum praktek ini jelas dinyatakan illegal namun dalam kenyataanya modus money politics tetaplah menjamur hal ini dikarenakan seseorang atau sekelompok masyarakat yang sudah menerima uang atau barang  tidak mungkin melaporkan adanya sebuah upaya atau kegiatan money politics sebab secara moral ia telah berhutang budi pada si pemberi dan secara hukum ia pasti kena jeratan hukum juga.
Telah dijelaskan dalam Pasal 84 Undang-Undang no 10 Tahun 2008 yang berisi bahwa dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam UU 32 tahun 2004 tentang pilkada juga mengatur larangan Money Politics, misalnya di pasal 117 ayat 2 yang berisi : “ Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”. Singkatnya secara yuridis money politik adalah sebuah pelanggaran. Tetapi masih banyak orang yang melanggar undang – undang diatas.
C.      PERLU BADAN PENGAWAS PEMILU PADA SAAT PILKADA
Pemilukada tahun 2011 kemarin masih banyak dinodai pelanggaran. Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selama 2011 setidaknya telah terjadi 1.718 dugaan pelanggaran. Dari jumlah tersebut 565 atau 33 persen diantaranya dugaan pelanggaran administrasi dan sebesar 22 persen atau 372 pe­langgaran pidana. Sisanya se­banyak 781 dugaan pelanggaran tidak diteruskan kepada KPU dan/atau Kepolisian, karena ka­rena bukti permulaan tidak cu­kup, atau kadaluwarsa bagi pe­langgaran pidana.[6]  
Data pelanggaran ini merupa­kan hasil pengawasan Bawaslu yang dilakukannya terhadap pe­lak­sanaan pemilukada di 92 dae­rah, baik di provinsi, kabupaten dan kota. “Sebanyak 781 dugaan pelang­ga­ran tidak dapat diteruskan kepada pihak KPU dan Kepoli­sian. 565 Pelanggaran kita terus­kan ke KPU karena memenuhi unsur pelanggaran administrasi. Sedangkan 372 terindikasi sebagai tindak pidana dan di­teruskan ke penyidik kepolisian.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan oleh  para calon serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”. Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas.
Untuk mengatasi setiap calon kepala daerah yang menyalahi aturan atau melakukan penyelewengan Money Politics, peranan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus dikedepankan. Kinerja Bawaslu harus lebih optimal dalam memantau perkembangan pilkada di daerah tersebut dan juga diperlukan koordinasi satu sama lain.  Bawaslu sebagai forum ajudikasi yang memberikan sanksi tegas, mulai dari teguran hingga diskualifikasi terhadap calon kepala daerah. Bawaslu harus tegas, ketika para calon kepala daerah menyalahi aturan besar. 

DAFTAR PUSTAKA
Moh.Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES.
Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni.
Teuku Mohammad Radhie, 1973, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional  dalam majalah Prisma

www.rakyatmedikaonline.com





[1] Paper dengan judul “ Kajian Polituk Hukum mengenai Politik Uang ( Money Politics ) Pada Pemilihan Kepala Daerah ” ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata Kuliah Politik Hukum dengan dosen Dr. Ni’matul Huda, SH.,M.Hum pada tanggal 3 Februari 2011 di Kampus Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indoneisa, Yogyakarta.
[2] Penulis adalah Mahasiswi Aktif Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[3] Moh. Mahfud MD., 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES, hlm. 1-2.
[4] Teuku Mohammad Radhie, “ Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional ” dalam majalah Prisma No.6 Tahun II, Desember 1973, hlm.3.
[5] Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, hlm.151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar